Anti Korupsi Rame-rame
Anti perbudakan
Anti perbudakan (anti-slavery, modus), stencil art on wall. Perbudakan masih ada hingga sekarang. Bagaimana mungkin manusia diperjual-belikan? Industri dengan sistem ekonominya adalah biang kerok. Karya ini merupakan ilustrasi bahwa praktek perbudakan hingga sekarang masih saja eksis dengan segala modus dan konspirasinya.
DS 12
========== catatan urbancult.net
/[Posting “Antiperbudakan – DS 12” di dalam situs urbancult.net merupakan bentuk pertanggungjawaban urbancult atas “hibah data” dari DS 13 berupa hasil dokumentasi foto karya street artnya. Judul posting akan disesuaikan dengan judul karya dan inisial yang dipakai. Lokasi karya street art ada di berbagai tempat, sebagian besar khususnya ada di Yogyakarta.]\
Street Art Sebagai Media Kampanye
Street art, satu aktifitas berkesenian yang menurut konteks ruang, aktifitas kesenian ini berada di dalam ruang umum atau ruang publik, yang sekarang pengertiannya lebih cenderung untuk mengidentifikasikan pada karya seni rupa yang berada di ruang publik. Meski secara sejarah historis saya belum dapat menemukan titik pasti akan kemunculannya, namun saya mencoba untuk meraba tanda-tanda sejarah yang dapat kita jadikan sebagai kajian bersama tentang eksistensi kesenian street art. Diawali dengan kemunculan karya-karya visual pada dinding-dinding batu atau gua yang dapat kita temukan hampir di seluruh belahan dunia, lukisan dinding gua ini muncul pada zaman batu akhir atau Paleolitik-Mesolitik, dimana hal ini juga merupakan cikal bakal lahirnya tulisan dan munculnya sejarah seni lukis. Hingga pada masa yang lebih modern, dalam sejarah kebangsaan Indonesia misalnya, street art juga mengambil peranan yang sangat signifikan, yaitu pada masa revolusi 45, dimana pada masa itu street art muncul dengan fungsi agitatifnya, berisikan seruan untuk memerdekaan diri dari penjajahan Belanda dan melawan imperialisme barat, dengan esensi yang sama format street art seperti ini muncul hingga akhir pemerintahan Soekarno, dengan seniman-senimannya seperti Soedjojono, Soeromo dan yang lainnya. Pada masa ini street art sebagai penyampai pernyataan atas sikap politik juga muncul di belahan Eropa, baik itu yang berisikan nilai-nilai kemanusiaan hingga propaganda rasial seperti yang dilakukan oleh Nazi. Setelah itu, muncul pula pada akhir tahun 70-an hingga awal 80-an di Amerika, disaat dimulainya komersialisasi atas keberadaan ruang publik, dimana saat itu korporasi mulai masuk, merebut, menguasai dan menggunakan ruang pubik, hingga institusi pendidikan formal seperti sekolahan sebagai wilayah pasar. Atas dasar hal tersebut maka muncul respon yang kini popular dengan sebutan graffiti, dan perkembangan selanjutnya graffiti muncul pada gerbong-gerbong kereta api sebagai bentuk sikap atas buruknya fasilitas transportasi umum yang terjadi saat itu, pada masa ini pulalah terjadi usaha pengkriminalisasian terhadap kegiatan street art, meski pada masa ini street art muncul tidak secara verbal dan lugas namun tetap berisikan esensi kritis sebagai sikap sosial, karena pada masa ini karya street art muncul dengan komposisi teks dengan membawa nama atau singkatan dari nama dan kelompok pembuatnya. Dan untuk konteks Yogyakarta, street art muncul kembali pewacanaannya pada akhir tahun 90-an pada masa Reformasi, pada masa ini street art dalam format graffiti muncul dengan membawa nilai-nilai persatuan, penolakan terhadap korupsi yang dilakukan oleh Negara dan tuntutan untuk dilakukannya reformasi di Indonesia, lalu secara kesenian setelah tahun 1998, wacana street art muncul dengan adanya kelompok kesenian yang bernama Apotik Komik dan Taring Padi, dimana kelompok kesenian tersebut memiliki orientasi pada ruang publik sebagai ruang untuk mempresentasikan karya-karya visual, dan satu program yang sangat berpengaruh pada perkembangan street art di kota Yogyakarta hingga saat ini, yaitu dengan adanya program “Mural Kota” pada tahun 2002 yang digagas oleh kelompok Apotik Komik, dimana melalui program tersebut wacana street art dapat diapresiasikan secara populer hingga sekarang.
Menurut saya, street art sangatlah menarik, dimana ia semacam menggembalikan fungsi seni sebagai bahasa komunikasi yang tidak lagi dibatasi oleh formalitas dan eksklusifitas institusi kesenian. Dan dengan sifatnya yang demikianlah street art sangat tepat untuk media menyampaikan pesan kepada kalayak ramai atau publik, ditambah saat ini ruang pubik kita sangat dipenuhi oleh sampah-sampah visual yang memiliki tendensi atas konsumerisme yang menjadikan kita hidup dalam ketertekanan korporasi, hal ini sangatlah tidak manusiawi, dimana kota dan ruang hidup kita tidak tertata secara estetik dan memposisikan warga hanya sebagai objek pasar belaka. Maka saat ini street art dapat menjadi penyeimbang komposisi visual yang ada di ruang publik, beserta etika dan estetika berkeseniannya.
Dalam era sekarang street art justru terbebas dari keterbatasannya, yaitu kita tidak harus langsung mendapati lokasi atau tempat terpasangnya sebuah karya, namun dengan pesatnya sistem informasi saat ini, kita dapat membagikan dan mendapatkan dokumentasi karya tersebut dengan cara yang mudah dan cepat, seperti halnya dengan menggunakan jaringan internet, informasi tentang keberadaan sebuah karya street art sudah dapat tersosialisasikan dengan mudah dan cepat keseluruh penjuru dunia. Dan ini seperti melengkapi fungsi street dengan segala nilai fleksibelitasnya.
(Tulisan oleh DS-13 – Untuk Kuliah Umum di Religious & Cross-cultural, Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada/ UGM, Yogyakarta.)
“Berharap agar keterpotongan sejarah tidak lagi menjadi tabiat logika generasi yang hidup dan dihidupi oleh ketertindasan petani. Terimakasih untukmu Petani” DS.13.”
Dalam catatannya mengenai karya ini, seperti yang tertulis di atas, DS 13 menyiratkan secara tidak langsung bahwa karyanya mewakili sosok petani dan generasi masa kini. Mungkin sosok perempuan tua bercaping adalah mewakili petani dan sosok perempuan kecil disampingnya adalah generasi muda sekarang. Mereka saling berjabat tangan, seperti mau berkenalan atau ingin mengerti dan memahami satu sama lain.
Hal ini mengingatkan saya ketika beberapa tahun lalu ketika berkunjung di pertanian teman saya di daerah Turi, Sleman, Jogjakarta. Waktu itu bersamaan dengan kunjungan satu kelas Sekolah Dasar dari Kota Jogjakarta. Guru kelas memang sengaja membawa dan mengenalkan murid-muridnya dengan pertanian dan petaninya. Tidak cukup mengherankan ketika ada banyak murid SD yang kebetulan dari wilayah kota tidak tahu bahwa asal muasal nasi yang mereka makan adalah dari beras. Dan banyak diantara mereka yang baru benar-benar tahu bahwa beras itu berasal dari tanaman padi yang ditanam di sawah (selama ini mereka hanya tahu dari gambar buku, informasi dari guru atau dari televisi dan TIDAK TAHU bagaimana wujud mereka yang sebenarnya). Mereka juga pasti tidak tahu bahwa tanaman padi menghasilkan bulir-bulir padi dan harus dipanen dulu sebelum digiling menjadi beras yang siap dimasak. Ada “gabah”, beras dan nasi.
Saya tidak tahu, ini kesalahan sistem pendidikan, sistem sosial atau bangsa ini mengalami kemunduran dalam banyak hal. Namun yang pasti ini apa yang dicatatkan DS 13 atas karyanya ini adalah satu bentuk pertanggunjawaban dan pesan atas karyanya.
RG for Urbancult.net
Kutipan DS 13 diambil dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10201368176465189&set=a.10201276649097062.1073741826.1197191383&type=1&relevant_count=1
Read More