– Obedience by Guerillas

Obedience3 Bilamana kita sepakat bahwa mengikuti protokol merupakan wujud mengikuti sistem aturan, bisa jadi kita sedang menyepakati tatanan khayalan atau sejenis mitos yang (mungkin sengaja) dibuat atau dimunculkan dengan tujuan tertentu. Bicara mengenai tatanan baru atau new normal, mengingatkan saya pada tulisan Yuval Noah Harari pada bukunya Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia yang menyinggung tatanan khayalan – yaitu tatanan tertentu yang kita percayai bukan karena tatanan itu benar secara objektif namun kalau kita bisa mempercayainya maka kita bisa bekerja sama secara efektif dan menjadikan masyarakat lebih baik. Namun sebaliknya, tatanan khayalan akan selalu menghadapi bahaya runtuh karena tatanan ini tergantung kepada mitos dan mitos akan lenyap runtuh ketika manusia berhenti percaya.

Saya begitu mengalami kesulitan untuk menulis pernyataan di atas sebagai awalan menulis narasi karya street art terkait dengan berita wabah COVID-19 yang menjadi global, Corona, New NormalTatanan Normal Baru dan issue kesehatan yang tanpa diduga banyak orang sudah membuat Tahun 2020 yang hampir selesai sebagai “prank” yang tidak lucu. Karya dari Guerillas yang sudah dipasang di papan baliho besar di Perempatan Ringroad Selatan Jl. Imogiri Barat – Yogyakarta ini pun cukup menggelitik saya untuk mencermatinya.

Obedience2Bagi saya, karya itu secara cerdas mau menarasikan apa yang saat ini terjadi secara umum di masyarakat di mana kepatuhan menjadi ikon utama baru dengan diterapkannya tatanan baru. Karya Guerillas, yang pertama muncul dalam pikiran saya – adalah gambaran seorang warga pakai masker yang ditodong thermogun oleh seorang petugas yang juga pakai masker dan sepertinya seseorang yang ditodong alat deteksi di kening adalah seorang seniman karena keliahatannya membawa semacam screen sablon atau semacam pigura canvas. Masker menjadi semiotika atas sikap tertutup, tidak transparan, tidak saling tahu dan sama-sama terjajah oleh ketidaktahuan yang sangat asing. Ketika saya coba bertemu denga Guerillas dan mengobrol sedikit tentang karyanya, dia menyampaikan bahwa menurutnya ada sesuatu yang janggal dengan segala tatanan baru ini, ada udang di balik batu, ada tujuan tertentu yang diharapkan dengan penerapan kepatuhan baru ini. Dalam obrolan, Guerillas juga menyampaikan secara singkat bahwa karyanya sebenarnya adalah bentuk kritis untuk selalu waspada – tidak semata-mata ingin menyampaikan “patuhilah tatanan baru, diam pakai masker, diam ditodong thermogun, diam melaksanakan tatanan baru yang diterapkan”; tetapi sebuah wujud waspada dan mawas diri.

Berita covid-19 membelah dunia atas mereka yang percaya dan tidak percaya, antara yang takut dan tidak takut, antara yang setuju stay at home atau not stay at home, antara yang menolak dan menerima, antara mereka yang mau menunggu vaksin dan obat virus dengan mereka yang percaya dengan imune alami tubuh. Lalu ada topic tentang elite global, deep state, konspirasi, depopulasi, pandemic dan plandemic, WHO, WHOAX hingga istilah-istilah baru dalam kesehatan atau cara-cara kesehatan tradisional yang muncul lagi. Belum lagi menjadi trendynya kegiatan “dunia maya” belajar online, meeting online, work from home, webinar, etc.

Obedience 1 Obedience4
Ada banyak hal saling bersautan. Mungkin ada banyak yang tahu mungkin ada banyak yang tidak tahu, apa yang berlangsung semenjak awal tahun 2020 ini. Krisis kesehatan, orang meninggal, pandemi, lockdown, pembatasan, social distancing, physical distancing, masker, health protocol, peringkat kematian, daftar negara terkena dampak paling parah dan hingga kapan situasi seperti ini akan berlangsung, tidak ada yang tahu persis. Akan ikut arus tetap patuh, hanya menjadi bingung, memutuskan sendiri terus maju menghadapi situasi – akhirnya juga akan kembali kepada setiap pribadi untuk mengurus kesehatan sendiri dan selalu menjaga imune tubuh dan kesehatan dengan pilihan masing-masing paling nyaman.

Tulisan ini adalah catatan pribadi dan hanya sekedar menjadi narasi subjektif disamping untuk menjadi catatan di samping karya Guerillas berjudul “Obedience”.  Guerillas https://www.instagram.com/_guerillas/ adalah project street art yang diprakarsai oleh Wimbo Praharso.

Hello World – 1 Oktober 2020

tulisan oleh RG untuk urbancult.net. Foto-foto adalah koleksi pribadi Wimbo Praharso.

Read More

City of Tolerance 1

City of Tolerance - Penyeragaman membunuh Keberagaman

Minggu (10 April 2016) dini hari di Yogyakarta, Urbancult berangkat menuju Jembatan Kleringan/Kewek di tengah kota atas undangan beberapa teman. Mereka mengaku diri mereka sebagai bagian dari Forum Solidaritas Jogja Damai (SJD) sebuah forum yang baru-baru ini dibentuk oleh berbagai individu, organisasi, dan kelompok kreatif di Yogyakarta. Kami disambut dengan salam hangat, dengan tangan berlumuran cat berwarna hitam yang kemudian juga membekas di tangan kami. Segera kami bergabung dan nongkrong di pinggiran trotoar mengamati dinding-dinding Jembatan Kewek yang hampir seluruhnya tertutup dengan cat basah berwarna hitam.

Read More

Tumbuh Subur Tak Terkendali

Tumbuh Subur Tak TerkendaliKarya mural kolaborasi antara Vine Apple dan Deki Utama yang bertajuk waktu 2016 ini tidak perlu dijelaskan lagi sudah sungguh sangat sekali banget dapat dimengerti maksudnya. Tumbuh Subur Tak Terkendali, apanya? Silakan dijawab sendiri-sendiri karena karya ini berada di Jogja. Pasti yang tumbuh subur bukan pepohonan ataua tetanaman di jalanan tetapi hutan-hutan baru berupa tembok-tembok dan beton-beton dan menjulang menjadi bangunan-bangunan yang disebut hotel-hotel dan mall. Silakan tanya pada pemerintah Walikota, Bupati dan Gubernurmu kalau mau tahu lebih detail tentang pertumbuhan dan kesuburan hotel dan mall di Jogjakarta.

Out of the topic dari ketumbuhan dan kesuburan atas hotel dan mall sudah tak terkendali yang jadi art collaboratie antara Vine Apple danVandalized Deki Utama, bahwa sebenarnya gambar foto di atas adalah sudah diedit pakai photoshop oleh dear-mimin karena sebenarnya karya sebenarnya yang ada di tembok seputar Taman Budaya Yogyakarta itu sudah dinodai tagging yang sembrono dan tidak bertanggung jawab berupa vandal gambar yang identik dengan “titit dan manuk“. Pesannya, kalau mau nggambar titit atau manuk mbok yah di kamar mandi saja atau di kamarmu sendiri atau di raimu saja sekalian, jangan di karya orang lain. Kenapa demikian? Coba bayangkan bilamana gambar itu dilihat oleh anak-anak kecil. Bisa jadi mereka akan niru nggambar titit di karya bagus lainya, atau mereka jadi mikir “oh ngrusak gambar orang itu boleh”, pikirknalah sebelum mencoret. Akan lebih baik kalau sekalian ditablek itu karya lalu gambar yang lebih baik dengan teknik apapun yang bertanggung jawab secara estetik dan etika. titik sudah.

catatan RG untuk urbancult.net

Read More

Tentang Karya Seni Jalanan di Lingkungan Stasiun Kereta Api

Hampir sama dengan lingkungan stasiun kereta api lain di Jawa, Stasiun Kereta Api di Parujakan Cirebon juga dilingkupi dengan tembok-tembok yang penuh dengan karya street art. Praduga saya, pasti karya seni ini bukan ulah masinis atau kondektur kereta api, tapi jelas para pegiat seni jalanan yang memanfaatkan lingkungan stasiun kereta api yang “biasanya” punya tembok tinggi dan lebar.

Lingkungan Stasiun Kereta Api Parujakan juga dilingkupi tembok tinggi dan lebar. Tentu saja karya street art ada banyak tampil dan terpasang di tembok-tembok tersebut. Entah kusam karena karya street artnya, entah kusam karena temboknya, entah kusam karena kebijakan yang baru saja dilaksanakan terkait lingkungan di Stasiun Parujakan yang sudah ditembok dan “sekarang diberi pagar tambahan”. Mungkin karena PKL itu menakutkan dan karena para PKL itu menggunakan lingkungan stasiun untuk mencari nafkah, maka tembok-tembok itu sekarang diberi pagar. Jadi ada “tembok yang dijaga oleh pagar” di Stasiun Parujakan Cirebon.

Karya street art, selalu bertengger di tempat semacam ini, karena merekalah yang me”reclaim” tempat-tempat terbuka dan ruang public di jalan. Kenapa selalu ada kesempatan yang terhambat? Kesempatan yang terhambat, apaan sih …. bilang aja nggak boleh. titik

Tapi jangan lupa dengan pesan Sunan Gunungjati, “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”

catatan RG untuk urbancult.net

Read More

Karya di Jalan Parujakan Cirebon ini cukup familiar sekali. Saya merasa tidak di mana-mana, atau justru karena pelakunya yang terus bergerak ke mana-mana menebarkan karyanya. Saya senang sekali dengan karya macam ini, ada estetikanya, ada etikanya dan tanggung jawab kekaryaan. Estetika, etika dan tangung jawab kekaryaan? Maksudnya apa?

Begini deh. Pertama, estetika, gampangnya adalah karya ini bagus, menarik, indah, cantik, warna-warni, berkarakter, tidak asal-asalan, menggunakan teknik tertentu yang diperhitungkan. Kedua, etika dan tanggung jawab kekaryaan, gampangnya pembuat karya pasti mempertimbangkan etika ke dalam dan tanggung jawab ke dalam atas karyanya yang mana akan mencerminkan “kekaryaan seni” yang mereka kerjakan. Kalau karyanya asal-asalan kan semacam “eek” sembarangan yang dipertontonkan di ruang publik. Namun selain, etika dan tanggung jawab kekaryaan secara ke dalam (yang akhirnya juga bermanfaat untuk pembuat karya, macam protfoliao juga kan?) terdapat juga etika dan tanggung jawab kekaryaan ke luar, artinya yang terpancar ke luar pada khlayak publik, di mana karya-karya ini bisa dinikmati, tidak asal-asalan, dekoratif, indah dan jelas menunjukkan “reclaim” atas ruang publik.

Tulisan ini hanya opini permukaan saya secara pribadi, karena sebagai warga awam saya senang ada semakin banyak karya yang “baik” di mana-mana. Ada banyak alasan subyektif untuk menyebut karya di jalan yang “baik” dan yang “tidak baik”. Terus berkarya dan sebarkan “kebaikan”.

catatan RG untuk urbancult.net

Read More

Oleh-oleh dari Cirebon #1

Pada 26, 27, 28 Februari 2016 saya mendapatkan kesempatan untuk bertandang ke Kota Udang a.k.a Cirebon di Jawa Barat. Saya bisa bertandang ke Kota Cirebon karena kebaikan dari kawan-kawan 1 Buku untuk Indonesia, Pejalan Bergerak dan Gerakan Menabung. Saya ikut berkereta ke sana untuk mendukung Perpustakaan Safinatunnajah, sebuah perpustakaan keliling yang diprakarsai oleh Kang Emik dan segenap kawan-kawan yang terlibat dalam #KawanEmik. Perpustakaan Safinatunnajah disebut perpustakaan keliling karena memang bentuknya adalah sepeda motor tua yang dihacked sedemikian rupa dan punya sespan dengan bentuk perahu untuk membawa buku-buku. Kendaraan ini berkeliling pada hari-hari tertentu ke tempat-tempat yang menjadi langganan untuk menjadi “taman baca” di seputar Cirebon. Ide ini menjadi inspirasi untuk banyak hal dan semangat termasuk aktifnya Taman Bacaan Suropati, TBM Ki Hajar Dewantara serta gerakan literasi di Cirebon lainnya.

mega mendung cirebonSelain cerita di atas, ada oleh-oleh khusus berupa citra tembok di Cirebon yang saya ambil gambarnya di seputar Stasiun Perujakan; misalnya, gambar mural berupa motif Mega Mendung dengan label NORTH COAST dan bersanding graffiti, mungkin terbaca MOZAQ.

Ada beberapa spot karya seni jalanan yang saya lihat di seputar jalan menuju stasiun Parujakan. Andai saja ada lebih banyak karya seni visual yang tampil dalam tembok-tembok kusam itu, pasti Cirebon makin asyik. Membaca kata, membaca dunia.

(catatan RG untuk urbancult.net)

Read More

 

Graffiti sepanjang jalan Kusumanegara, Yogyakarta

 

#urbancult #streetart #indonesia #graffiti #yogyakartagraffiti #kusumanegara #yogyakarta

Read More

Beberapa karya graffiti di Jl. Palagan – Yogyakarta

 

Read More

Karya-karya graffiti di sekitar Fakultas Peternakan UGM

 

 

 

 

 

Read More

Real Graffiti - Magelang

Kebhinekaaan dalam satu karya graffiti “MAGELANG”

Read More